Senin, 17 November 2008

Minggu yang lalu berita yang paling penting adalah kemerosotan kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menimbulkan keresahan di pasar uang. Kurs rupiah terhadap dolar AS menurun ke arah Rp 9750 dan IHSG menurun ke arah 1000 dan ada kecemasan ambang pintu 1000 dilalui ke bawah. Syukur setelah pimpinan BI dan Pemerintah berembug dan BI mengadakan intervensi maka kurs rupiah menguat sedikit lagi.
Masalahnya apakah gejala penurunan kurs rupiah itu cermin sendi-sendi ekonomi (economic fundamentals) melemah? Ini tidak demikian. Suatu panel diskusi Bank BCA dengan pembicara Dr. Chotib Basri, Dr. Raden Pardede, Lin Chee Wei dan Dr. Cyrillus Harinowo (Komisaris Utama BCA) menyuarakan nada optimis terhadap prospek ekonomi Indonesia. Laju pertumbuhan PDB tahun ini bisa meraih 6% (kebanyakan perkiraan sekitar 5,5%). Dr. Chotib Basri juga menyebut bahwa menurut angka-angka Januari-Februari 2005 investasi dan ekspor (juga non-migas) sudah tampak pulih. Tetapi, masalah melemahnya kurs rupiah juga sempat dibicarakan.
Gejala yang serba aneh adalah mengapa kurs rupiah melemah sedangkan cadangan devisa yang ada di Bank Indonesia masih utuh, bahkan meningkat sedikit, melebihi $ 36 milyar? Ada beberapa sebab yang dikemukakan.
Pertama, yang dilihat sebagai “biang keladi” adalah dua BUMN besar, terutama Pertamina, juga PLN. Kebutuhan Pertamina akan devisa untuk mengimpor minyak mentah dan produk untuk pasar dalam negeri adalah besar sekali, terutama setelah harga minyak bumi naik sampai di atas $ 50 per barrel. Tetapi, penerimaan devisa dari ekspor minyak dan gas bumi sangat besar juga? Benar. Akan tetapi rupanya ada dua pasar yang tidak bersambungan. Oleh undang-undang baru maka penerimaan pemerintah dari kontrak-kontrak bagi hasil (sekarang) langsung disetor oleh kontraktor (asing) ke pemerintah lewat Bank Indonesia. Dulu diterima oleh Pertamina, dan Pertamina menggunakan sebagian devisa itu untuk mengimpor keperluannya. Sekarang Pertamina harus membeli devisa demikian di pasar (devisa) umum, yang tidak (langsung) dipasok oleh devisa yang diterima Bank Indonesia itu. Maka devisa demikian memperkuat cadangan devisa akan tetapi di pasar devisa umum timbul kelebihan permintaan yang menyebabkan kurs rupiah melemah. Peraturan baru ini tidak mengganggu ketika harga minyak bumi masih normal. Maka yang menjadi sebab persoalan adalah peraturan yang memisahkan pasar valuta asing menjadi dua. Ini sekarang sudah diperbaiki. Pertamina sekarang bisa membeli devisanya langsung dari supply yang dikuasai oleh Bank Indonesia.
Kelemahan nomor dua adalah bahwa Bank Indonesia telah lamban mengendalikan peredaran uang (ukurannya adalah uang primer atau M-zero) sesuai dengan batas kewajaran ekspansi. Rumus sederhana adalah bahwa laju pertumbuhan M-zero tidak boleh melebihi laju pertumbuhan PDB plus tingkat inflasi (misalnya 5,5+7=12,5%). Kelebihan likuiditas timbul di masyarakat. BI sendiri sempat membeli SUN sehingga sebetulnya menginyeksikan rupiah di peredaran. Ini cenderung meningkatkan laju inflasi (mencapai 8,8% y-o-y, di bulan Januari-Februari).
Inflasi yang cenderung meningkat ini memecut inflationary expectations, dan Bank Indonesia sadar mengenai ini. Soalnya, apakah BI ada “kelalaian” sampai pertumbuhan uang primer melampaui batas kewajaran? Bank Indonesia mungkin menangkis bahwa BI tidak selalu mampu mengendalikan jumlah uang primer ini. Misalnya menjelang Lebaran selalu ada peak karena kecenderungan di masyarakat. Besar giro dari para deposan tidak bisa langsung dikendalikan oleh BI. Akan tetapi, secara normal bulan April ini bukan peak season, dan kelebihan likuiditas harus bisa diserap oleh BI lewat operasi pasar.
Dalam hal ini pengamat juga melihat suatu “kelalaian” dalam management monetary policy BI. BI tampak segan untuk segera menaikkan tingkat bunga karena takut memperparah situasi untuk sektor riil (tingkat bunga kredit terpaksa juga naik yang akan menyulitkan sektor riil). Neraca untung-rugi BI sendiri juga akan terpengaruhi kalau tingkat bunga naik. Demikian juga APBN. Maka ada conflict of interest dalam management monetary policy. Tingkat bunga deposito, dilihat dari kepentingan deposan, menjadi negatip (in real terms, artinya dibandingkan tingkat inflasi). Maka ada kemungkinan pemboyongan dana masyarakat dari bank dalam negeri ke rekening dolar di bank luar negeri. Ini juga ikut melemahkan kurs rupiah.
Pada akhir minggu maka oleh karena intervensi Presiden (yang ikut menjadi gusar) dan koordinasi antara otoritas moneter Bank Indonesia dan Pemerintah maka persoalannya bisa diselesaikan. Bukti bahwa “independensi Bank Indonesia” tidak otomatis menjamin amannya pelaksanaan monetary policy.

1 komentar:

6h4L03h mengatakan...

tuGaz qO' aNeH" ..

hEe,